Anak
saya bercita-cita menjadi guru. Tentu saja saya dan istri saya jadi
shok. Kami berdua tahu, macam apa masa depan seorang guru. Karena itu,
sebelum terlalu jauh, kami cepat-cepat ngajak dia ngomong.
"Kami dengar selentingan, kamu mau jadi guru, Taksu? Betul?!"
Taksu mengangguk.
"Betul Pak."
Kami kaget.
"Gila, masak kamu mau jadi g-u-r-u?"
"Ya."
Saya
dan istri saya pandang-pandangan. Itu malapetaka. Kami sama sekali
tidak percaya apa yang kami dengar. Apalagi ketika kami tatap
tajam-tajam, mata Taksu nampak tenang tak bersalah. Ia pasti sama sekali
tidak menyadari apa yang barusan diucapkannya. Jelas ia tidak
mengetahui permasalahannya.
Kami bertambah khawatir,
karena Taksu tidak takut bahwa kami tidak setuju. Istri saya menarik
nafas dalam-dalam karena kecewa, lalu begitu saja pergi. Saya mulai
bicara blak-blakan.
"Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya
bicara satu kali saja. Setelah itu terserah kamu! Menjadi guru itu bukan
cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup di kota. Dan
ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi, alias persaingan
bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua
guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa, karena mereka gagal meraih
yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti? Setiap
kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang lebih
menguntungkan. Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang
yang gagal, kenapa kamu jadi putus asa begitu?!"
"Tapi saya mau jadi guru."
"Kenapa?
Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup guru itu seperti apa?
Guru itu hanya sepeda tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan pun
tidak ada yang mau beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi
duit nol besar. Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya saja
rata-rata kontrakan dalam gang kumuh. Di desa juga guru hidupnya bukan
dari mengajar tapi dari tani. Karena profesi guru itu gersang, boro-boro
sebagai cita-cita, buat ongkos jalan saja kurang. Cita-cita itu harus
tinggi, Taksu. Masak jadi guru? Itu cita-cita sepele banget, itu namanya
menghina orang tua. Masak kamu tidak tahu? Mana ada guru yang punya
rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito dollar. Guru itu
tidak punya masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja
utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa kamu
bodoh sekali mau masuk neraka, padahal kamu masih muda, otak kamu encer,
dan biaya untuk sekolah sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan
tenang dengan otak dingin!"
"Sudah saya pikir masak-masak."
Saya terkejut.
"Pikirkan sekali lagi! Bapak kasi waktu satu bulan!"
Taksu menggeleng.
"Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya ingin jadi guru."
"Tidak! Kamu pikir saja dulu satu bulan lagi!"
Kami
tinggalkan Taksu dengan hati panas. Istri saya ngomel sepanjang
perjalanan. Yang dijadikan bulan-bulanan, saya. Menurut dia, sayalah
yang sudah salah didik, sehingga Taksu jadi cupet pikirannya.
"Kau yang terlalu memanjakan dia, makanya dia seenak perutnya saja sekarang. Masak mau jadi guru. Itu kan bunuh diri!"
Saya
diam saja. Istri saya memang aneh. Apa saja yang tidak disukainya,
semua dianggapnya hasil perbuatan saya. Nasib suami memang rata-rata
begitu. Di luar bisa galak melebihi macan, berhadapan dengan istri,
hancur.
Bukan hanya satu bulan, tetapi dua bulan kemudian,
kami berdua datang lagi mengunjungi Taksu di tempat kosnya. Sekali ini
kami tidak muncul dengan tangan kosong. Istri saya membawa krupuk kulit
ikan kegemaran Taksu. Saya sendiri membawa sebuah lap top baru yang
paling canggih, sebagai kejutan.
Taksu senang sekali. Tapi
kami sendiri kembali sangat terpukul. Ketika kami tanyakan bagaimana
hasil perenungannya selama dua bulan, Taksu memberi jawaban yang sama.
"Saya sudah bilang saya ingin jadi guru, kok ditanya lagi, Pak," katanya sama sekali tanpa rasa berdosa.
Sekarang
saya naik darah. Istri saya jangan dikata lagi. Langsung kencang
mukanya. Ia tak bisa lagi mengekang marahnya. Taksu disemprotnya habis.
"Taksu! Kamu mau jadi guru pasti karena kamu terpengaruh oleh puji-pujian orang-orang pada guru itu ya?!" damprat istri saya.
"Mentang-mentang
mereka bilang, guru pahlawan, guru itu berbakti kepada nusa dan bangsa.
Ahh! Itu bohong semua! Itu bahasa pemerintah! Apa kamu pikir betul guru
itu yang sudah menyebabkan orang jadi pinter? Apa kamu tidak baca di
koran, banyak guru-guru yang brengsek dan bejat sekarang? Ah?"
Taksu tidak menjawab.
"Negara
sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi lihat sendiri, negara
tidak pernah memberi gaji yang setimpal, karena mereka yakin, banyak
orang seperti kamu, sudah puas karena dipuji. Mereka tahu kelemahan
orang-orang seperti kamu, Taksu. Dipuji sedikit saja sudah mau banting
tulang, kerja rodi tidak peduli tidak dibayar. Kamu tertipu Taksu!
Puji-pujian itu dibuat supaya orang-orang yang lemah hati seperti kamu,
masih tetap mau jadi guru. Padahal anak-anak pejabat itu sendiri
berlomba-lomba dikirim keluar negeri biar sekolah setinggi langit,
supaya nanti bisa mewarisi jabatan bapaknya! Masak begitu saja kamu
tidak nyahok?"
Taksu tetap tidak menjawab.
"Kamu
kan bukan jenis orang yang suka dipuji kan? Kamu sendiri bilang apa
gunanya puji-pujian, yang penting adalah sesuatu yang konkret. Yang
konkret itu adalah duit, Taksu. Jangan kamu takut dituduh materialistis.
Siapa bilang meterialistik itu jelek. Itu kan kata mereka yang tidak
punya duit. Karena tidak mampu cari duit mereka lalu memaki-maki duit.
Mana mungkin kamu bisa hidup tanpa duit? Yang bener saja. Kita hidup
perlu materi. Guru itu pekerjaan yang anti pada materi, buat apa kamu
menghabiskan hidup kamu untuk sesuatu yang tidak berguna? Paham?"
Taksu mengangguk.
"Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?"
Istri saya melotot tak percaya apa yang didengarnya. Akhirnya dia menyembur.
"Lap
top-nya bawa pulang saja dulu, Pak. Biar Taksu mikir lagi! Kasih dia
waktu tiga bulan, supaya bisa lebih mendalam dalam memutuskan sesuatu.
Ingat, ini soal hidup matimu sendiri, Taksu!"
Sebenarnya saya mau ikut bicara, tapi istri saya menarik saya pergi. Saya tidak mungkin membantah. Di jalan istri saya berbisik.
"Sudah
waktunya membuat shock therapy pada Taksu, sebelum ia kejeblos terlalu
dalam. Ia memang memerlukan perhatian. Karena itu dia berusaha melakukan
sesuatu yang menyebabkan kita terpaksa memperhatikannya. Dasar anak
zaman sekarang, akal bulus! Yang dia kepingin bukan lap top tapi mobil!
Bapak harus kerja keras beliin dia mobil, supaya mau mengikuti apa
nasehat kita!"
Saya tidak setuju, saya punya pendapat
lain. Tapi apa artinya bantahan seorang suami. Kalau adik istri saya
atau kakaknya, atau bapak-ibunya yang membantah, mungkin akan
diturutinya. Tapi kalau dari saya, jangan harap. Apa saja yang saya
usulkan mesti dicurigainya ada pamrih kepentingan keluarga saya. Istri
memang selalu mengukur suami, dari perasaannya sendiri.
Tiga
bulan kami tidak mengunjungi Taksu. Tapi Taksu juga tidak menghubungi
kami. Saya jadi cemas. Ternyata anak memang tidak merindukan orang tua,
orang tua yang selalu minta diperhatikan anak.
Akhirnya, tanpa
diketahui oleh istri saya, saya datang lagi. Sekali ini saya datang
dengan kunci mobil. Saya tarik deposito saya di bank dan mengambil
kredit sebuah mobil. Mungkin Taksu ingin punya mobil mewah, tapi saya
hanya kuat beli murah. Tapi sejelek-jeleknya kan mobil, dengan bonus
janji, kalau memang dia mau mengubah cita-citanya, jangankan mobil
mewah, segalanya akan saya serahkan, nanti.
"Bagaimana
Taksu," kata saya sambil menunjukkan kunci mobil itu. "Ini hadiah untuk
kamu. Tetapi kamu juga harus memberi hadiah buat Bapak."
Taksu melihat kunci itu dengan dingin.
"Hadiah apa, Pak?"
Saya tersenyum.
"Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk memutuskan. Jadi, singkat kata saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?"
Taksu memandang saya.
"Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?"
Kunci mobil yang sudah ada di tangannya saya rebut kembali.
"Mobil
ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh kamu ambil
sekarang juga, kalau kamu berjanji bahwa kamu tidak akan mau jadi guru,
sebab itu memalukan orang tua kamu. Kamu ini investasi untuk masa depan
kami, Taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya kamu meraih gelar,
punya jabatan, dihormati orang, supaya kami juga ikut terhormat. Supaya
kamu berguna kepada bangsa dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu
kalau kami sudah jompo nanti. Bercita-citalah yang bener. Mbok mau jadi
presiden begitu! Masak guru! Gila! Kalau kamu jadi guru, paling banter
setelah menikah kamu akan kembali menempel di rumah orang tuamu dan
menyusu sehingga semua warisan habis ludes. Itu namanya kerdil pikiran.
Tidak! Aku tidak mau anakku terpuruk seperti itu!"
Lalu
saya letakkan kembali kunci itu di depan hidungnya. Taksu berpikir.
Kemudian saya bersorak gegap gembira di dalam hati, karena ia memungut
kunci itu lagi.
"Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan saya. Dengan sesungguh-sungguhnya, saya hormat atas perhatian Bapak."
Sembari berkata itu, Taksu menarik tangan saya, lalu di atas telapak tangan saya ditaruhnya kembali kunci mobil itu.
"Saya ingin jadi guru. Maaf."
Kalau
tidak menahan diri, pasti waktu itu juga Taksu saya tampar.
Kebandelannya itu amat menjengkelkan. Pesawat penerimanya sudah rusak.
Untunglah iman saya cukup baik. Saya tekan perasaan saya. Kunci kontak
itu saya genggam dan masukkan ke kantung celana.
"Baik.
Kalau memang begitu, uang sekolah dan uang makan kamu mulai bulan depan
kami stop. Kamu hidup saja sendirian. Supaya kamu bisa merasakan sendiri
langsung bagaimana penderitaan hidup ini. Tidak semudah yang kamu baca
dalam teori dan slogan. Mudah-mudahan penderitaan itu akan membimbing
kamu ke jalan yang benar. Tiga bulan lagi Bapak akan datang. Waktu itu
pikiranmu sudah pasti akan berubah! Bangkit memang baru terjadi sesudah
sempat hancur! Tapi tak apa."
Tanpa banyak basa-basi lagi,
saya pergi. Saya benar-benar naik pitam. Saya kira Taksu pasti sudah
dicocok hidungnya oleh seseorang. Tidak ada orang yang bisa melakukan
itu, kecuali Mina, pacarnya. Anak guru itulah yang saya anggap sudah
kurang ajar menjerumuskan anak saya supaya terkiblat pikirannya untuk
menjadi guru. Sialan!
Tepat tiga bulan kemudian saya
datang lagi. Sekali ini saya membawa kunci mobil mewah. Tapi terlebih
dulu saya mengajukan pertanyaan yang sama.
"Coba jawab untuk yang terakhir kalinya, mau jadi apa kamu sebenarnya?"
"Mau jadi guru."
Saya
tak mampu melanjutkan. Tinju saya melayang ke atas meja. Gelas di atas
meja meloncat. Kopi yang ada di dalamnya muncrat ke muka saya.
"Tetapi
kenapa? Kenapa? Apa informasi kami tidak cukup buat membuka mata dan
pikiran kamu yang sudah dicekoki oleh perempuan anak guru kere itu?
Kenapa kamu mau jadi guru, Taksu?!!!"
"Karena saya ingin jadi guru."
"Tidak! Kamu tidak boleh jadi guru!"
"Saya mau jadi guru."
"Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru."
Taksu menatap saya.
"Apa?"
"Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!!" teriak saya kalap.
Taksu balas memandang saya tajam.
"Bapak tidak akan bisa membunuh saya."
"Tidak? Kenapa tidak?"
"Sebab
guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu lenyap.
Tapi apa yang diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh,
berkembang dan memberi inspirasi kepada generasi di masa yang akan
datang. Guru tidak bisa mati, Pak."
Saya tercengang.
"O… jadi narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau jadi guru?"
"Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak mau mati."
Saya bengong. Saya belum pernah dijawab tegas oleh anak saya. Saya jadi gugup.
"Bangsat!"
kata saya kelepasan. "Siapa yang sudah mengotori pikiran kamu dengan
semboyan keblinger itu? Siapa yang sudah mengindoktrinasi kamu, Taksu?"
Taksu memandang kepada saya tajam.
"Siapa Taksu?!"
Taksu menunjuk.
"Bapak sendiri, kan?"
Saya terkejut.
"Itu
kan 28 tahun yang lalu! Sekarang sudah lain Taksu! Kamu jangan ngacau!
Kamu tidak bisa hidup dengan nasehat yang Bapak berikan 30 tahun yang
lalu! Waktu itu kamu malas. Kamu tidak mau sekolah, kamu hanya mau
main-main, kamu bahkan bandel dan kurang ajar pada guru-guru kamu yang
datang ke sekolah naik ojek. Kamu tidak sadar meskipun sepatunya butut
dan mukanya layu kurang gizi, tapi itulah orang-orang yang akan
menyelamatkan hidup kamu. Itulah gudang ilmu yang harus kamu tempel
sampai kamu siap. Sebelum kamu siap, kamu harus menghormati mereka,
sebab dengan menghormati mereka, baru ilmu itu bisa melekat. Tanpa ada
ilmu kamu tidak akan bisa bersaing di zaman global ini. Tahu?"
Satu
jam saya memberi Taksu kuliah. Saya telanjangi semua persepsinya
tentang hidup. Dengan tidak malu-malu lagi, saya seret nama pacarnya si
Mina yang mentang-mentang cantik itu, mau menyeret anak saya ke masa
depan yang gelap.
"Tidak betul cinta itu buta!" bentak saya kalap.
"Kalau cinta bener buta apa gunanya ada bikini," lanjut saya mengutip iklan yang saya sering papas di jalan.
"Kalau
kamu menjadi buta, itu namanya bukan cinta tetapi racun. Kamu sudah
terkecoh, Taksu. Meskipun keluarga pacarmu itu guru, tidak berarti kamu
harus mengidolakan guru sebagai profesi kamu. Buat apa? Justru kamu
harus menyelamatkan keluarga guru itu dengan tidak perlu menjadi guru,
sebab mereka tidak perlu hidup hancur berantakan gara-gara bangga
menjadi guru. Apa artinya kebanggaan kalau hidup di dalam kenyataan
lebih menghargai dasi, mobil, duit, dan pangkat? Punya duit, pangkat dan
harta benda itu bukan dosa, mengapa harus dilihat sebagai dosa. Sebab
itu semuanya hanya alat untuk bisa hidup lebih beradab. Kita bukan
menyembahnya, tidak pernah ada ajaran yang menyuruh kamu menyembah
materi. Kita hanya memanfaatkan materi itu untuk menambah hidup kita
lebih manusiawi. Apa manusia tidak boleh berbahagia? Apa kalau menderita
sebagai guru, baru manusia itu menjadi beradab? Itu salah kaprah! Ganti
kepala kamu Taksu, sekarang juga! Ini!"
Saya gebrakkan kunci mobil BMW itu di depan matanya dengan sangat marah.
"Ini satu milyar tahu?!"
Sebelum dia sempat menjawab atau mengambil, kunci itu saya ambil kembali sambil siap-siap hendak pergi.
"Pulang
sekarang dan minta maaf kepada ibu kamu, sebab kamu baru saja menghina
kami! Tinggalkan perempuan itu. Nanti kalau kamu sudah sukses kamu akan
dapat 7 kali perempuan yang lebih cantik dari si Mina dengan sangat
gampang! Tidak perlu sampai menukar nalar kamu!"
Tanpa
menunggu jawaban, lalu saya pulang. Saya ceritakan pada istri saya apa
yang sudah saya lakukan. Saya kira saya akan dapat pujian. Tetapi
ternyata istri saya bengong. Ia tak percaya dengan apa yang saya
ceritakan. Dan ketika kesadarannya turun kembali, matanya melotot dan
saya dibentak habis-habisan.
"Bapak terlalu! Jangan perlakukan anakmu seperti itu!" teriak istri saya kalap.
Saya bingung.
"Ayo
kembali! Serahkan kunci mobil itu pada Taksu! Kalau memang mau ngasih
anak mobil, kasih saja jangan pakai syarat segala, itu namanya dagang!
Masak sama anak dagang. Dasar mata duitan!"
Saya tambah bingung.
"Ayo cepet, nanti anak kamu kabur!"
Saya
masih ingin membantah. Tapi mendengar kata kabur, hati saya rontok.
Taksu itu anak satu-satunya. Sebelas tahun kami menunggunya dengan
cemas. Kami berobat ke sana-kemari, sampai berkali-kali melakukan
enseminasi buatan dan akhirnya sempat dua kali mengikuti program bayi
tabung. Semuanya gagal. Waktu kami pasrah tetapi tidak menyerah,
akhirnya istri saya mengandung dan lahirlah Taksu. Anak yang sangat
mahal, bagaimana mungkin saya akan biarkan dia kabur?
"Ayo cepat!" teriak sitri saya kalap.
Dengan
panik saya kembali menjumpai Taksu. Tetapi sudah terlambat. Anak itu
seperti sudah tahu saja, bahwa ibunya akan menyuruh saya kembali. Rumah
kost itu sudah kosong. Dia pergi membawa semua barang-barangnya, yang
tinggal hanya secarik kertas kecil dan pesan kecil:
"Maaf, tolong relakan saya menjadi seorang guru."
Tangan
saya gemetar memegang kertas yang disobek dari buku hariannya itu.
Kertas yang nilainya mungkin hanya seperak itu, jauh lebih berarti dari
kunci BMW yang harganya semilyar dan sudah mengosongkan deposito saya.
Saya duduk di dalam kamar itu, mencium bau Taksu yang masih ketinggalan.
Pikiran saya kacau. Apakah sudah takdir dari anak dan orang tua itu
bentrok? Mau tak mau saya kembali memaki-maki Mina yang sudah
menyesatkan pikiran Taksu. Kembali saya memaki-maki guru yang sudah
dikultusindividukan sebagai pekerjaan yang mulia, padahal dalam
kenyataannya banyak sekali guru yang brengsek.
Pintu kamar
tiba-tiba terbuka. Saya seperti dipagut aliran listrik. Tetapi ketika
menoleh, itu bukan Taksu tetapi istri saya yang menyusul karena merasa
cemas. Waktu ia mengetahui apa yang terjadi, dia langsung marah dan
kemudian menangis. Akhirnya saya lagi yang menjadi sasaran. Untuk
pertama kalinya saya berontak. Kalau tidak, istri saya akan seterusnya
menjadikan saya bal-balan. Saya jawab semua tuduhan istri saya. Dia
tercengang sebab untuk pertama kalinya saya membantah. Akhirnya di bekas
kamar anak kami itu, kami bertengkar keras.
Tetapi itu 10 tahun yang lalu.
Sekarang
saya sudah tua. Waktu telah memproses segalanya begitu rupa, sehingga
semuanya di luar dugaan. Sekarang Taksu sudah menggantikan hidup saya
memikul beban keluarga. Ia menjadi salah seorang pengusaha besar yang
mengimpor barang-barang mewah dan mengekspor barang-barang kerajinan
serta ikan segar ke berbagai wilayah mancanegara.
"Ia
seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi
anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi
bangsa dan negara, karena jasa-jasanya menularkan etos kerja," ucap
promotor ketika Taksu mendapat gelar doktor honoris causa dari sebuah
pergurauan tinggi bergengsi.
petiklah hikmah dibalik cerpen ini~