Translate

Selasa, 26 Agustus 2014

Hati-hati!

Kita tak akan pernah tahu bila tak diberi tahu. Sebuah pembelajaran bagi saya pribadi malam ini. Mungkin hal yang amat lumrah jika kita mendengar pribahasa "Banyak jalan menuju Roma". Kita tahu bahwa arti dari pribahasa itu adalah ada beribu jalan menuju kesuksesan. Ya, intinya itu. Semua orang pun tahu Roma tempat suci umat Nasrani. Saya sendiri yang seorang muslim memang tak pantas mengagungkan tempat itu. Memang, bukan itu maksud yang ingin saya sampaikan. Nampaknya saya terlalu bahagia. Allah SWT sudah kirimkan kejutan manis hari ini. Hanya ingin berbagi kebahagiaan dan sedikit memotivasi yang lain. Mungkin caranya belum benar.

Pemikiran orang itu beda-beda, ada yang luas pemahamannya dan ada yang sempit. Orang awam yang miskin ilmu dan menutup diri untuk belajar lebih (cuek) macam saya tidak pernah berpikir se-detail itu. Beruntung, teman lama yang satu ini mau mengingatkan. Sebagian yang lain tahu tapi acuh, tidak berani berpendapat, malu-malu, atau mungkin tidak tahu. Saya manusia biasa, sempat shock dan merasa terpojokkan dengan hal ini. Berhari-hari mungkin akan selalu terngiang.

Sekali lagi saya tekankan bahwa, kejadian ini merupakan pembelajaran luar biasa bagi saya. Ini yang perlu dicamkan betul-betul "Ingat, Kelihatan Sepele tapi berawal dari hal Sepele itulah muncul propaganda pada generasi seterusnya." Saya yang selalu berpikir dua, tiga, empat kali untuk melakukan sesuatu tapi nyatanya di lapangan sering kali melakukan sesuatu seperti "tak dipikirkan dulu". Saya sengaja tak menghapus status yang saya buat meskipun sejujurnya ada rasa malu. Saya ingin semua belajar. Belajar dari kesalahan yang sudah saya buat. Belajar agar tak melakukan kesalahan yang pernah saya lakukan. Instrospeksi kalau-kalau pernah atau bahkan masih menggunakan istilah "Roma" (bagi yang Muslim). 

Mari kita bercermin pada kejadian ini. Menjadikannya sebuah pelajaran berharga bagi kita. Saya sering kali mewanti-wanti diri saya sendiri. Apalagi di era modern dan makin canggih. Siapa pun bebas berpendapat. Namun ingat, harus HATI-HATI! Kita musti pandai menggunakan media sosial. Bisa jadi itu akan menjadi bumerang bagi kita. Bicara juga harus benar, jangan sampai menyakiti hati orang lain. Prilaku juga harus dijaga. Jangan mudah marah dan berkecil hati jika diberi tahu. Terkhusus untuk saya pribadi yang sedang berproses.

#Neng

Minggu, 24 Agustus 2014

Is It Friendship?

Cerahnya petang ditambah gemuruh angin di luar sana terasa sampai ke dalam rumah. Meli duduk di ruang tamu sembari menghirup teh hangat sendirian. Dering handphone menemaninya. Meli membuka dengan harap, tetapi hanyalah sebuah broadcast tak penting yang masuk. Meli sadar dirinya sungguh sendiri. "Ah, tapi aku banyak teman kok di luar sana.", gumamnya. "Tapi kemana teman-temanku? Mereka sedang apa ya? Kenapa tak ada yang menghubungiku? Sania dan Via yang selalu berbagi cerita denganku pun sekarang tak pernah menghubungiku lagi."

Meli, Sania dan Via sudah berteman sejak tiga tahun lalu. Perkenalan awal yang saling malu-malu di sekolah, nyatanya membuat mereka sangat akrab lebih dari sekedar saudara. Di sekolah ketiganya memiliki prestasi yang sama hebatnya. Kemana-mana selalu bersama, membeli barang-barang sama, liburan bersama, bahkan mereka sering nginep bersama. Mereka menamai diri mereka dengan sebutan COMEL. Yah, celetukan si Sania saat mereka sedang menonton kartun dari negara tetangga. "Comel itu artinya lucu yah? Kita kan lucu-lucu. Gimana kalo nama genk kita COMEL aja?" Meli dan Via hanya mengangguk, tanda setuju. Keakraban makin terasa saat mereka melapas masa remajanya bersama-sama. Melakukan kenakalan-kenakalan biasa yang dilakukan siswa lainnya. Pulang telat ke rumah bukan masalah bagi keluarganya. Oh, bangganya mereka saat ini yang berbalut putih abu dengan garis tiga di lengan kanan.

Angan Meli menembus waktu. Betapa Sania dan Via sangat berarti baginya. Semua berubah, persis ketika Sania yang selalu mau berbagi kini memutuskan untuk lebih banyak diam dan menghilang dari orang-orang di sekitarnya. "Vi, kenapa ya Sania susah dihubungi?". "Mungkin lagi pengen sendiri. Biarin aja lah Mel." itu balasan SMS dari Via yang kutanya beberapa minggu lalu. Via yang dulunya ramah, selalu ada basa-basi di setiap SMS-nya kini pun mendadak menjadi gadis jutek. Pikir Meli kemana-mana. Bertanya apa yang salah pada mereka, pada dirinya. "Apa mungkin karena Via sudah punya pacar, dia jadi cuek sama aku? Apa mungkin Sania lagi sakit hati sama cowok? Atau mungkin aku pernah buat salah sama mereka yang gak aku sadari."

Sabtu kemarin, Sania tak masuk. Entah apa alasannya, tak seorang pun yang tau. Sasaran utama yang ditanya guru, pastilah Meli dan Via. Mereka yang tak tau apa-apa, bingung harus menjawab apa. "Mel, orang itu yang kalo biasanya terlihat selalu bahagia sebenernya ada seribu kesedihan yang ditutupinya. Gak kayak kamu yang suka ngadu ke mama dan nangis mulu tiap ada masalah." sela Kak Fitri saat Mela sedang menceritakan masalah ini kepada ibunya. Apa yang dikatakan Kak Fitri ada benarnya juga. Sania tak pernah menceritakan tentang sesuatu yang sedih atau berbau kekecewaan padanya maupun Via. "Apa mungkin Sania tidak percaya padaku?" tanya Meli dalam hati.

Persahabatan yang mereka sebut ini, kini sudah diujung tanduk. Tak ada lagi rasa saling percaya di antara mereka. Sebuah senyum dan tawa saat bersama pun dirasa hanya sekedar saja. Tak ada kumpul bersama, makan bersama, jalan bersama. Gelang couple yang selalu mereka pakai, sekarang sudah entah kemana. Pulang sekolah pun kini sendiri-sendiri. Via yang selalu dijemput pacarnya, Sania yang selalu pulang duluan tanpa pamit kepada Meli. Kini semua telah berubah. Semua yang dulunya terasa indah jika bersama, kini terasa hambar. Obrolan tak ada lagi yang menarik. Inikah yang disebut persahabatan? Ah, tak terasa teh di meja sudah dingin dan tinggal setengah. Meli kembali berkaca pada masa lalu. Ia tak ingin kejadian ini semakin menjadi. Ia sadar bahwa ia tak akan bisa hidup sendiri. Tak baik berdiam sesama teman. 

Sabtu, 23 Agustus 2014

Belenggu

Pada dingin yang mendekap malam gelap ini, aku bertanya siapa yang benar-benar tulus? Haikal yang sudah bertahun-tahun pergi entah kemana tapi masih menetap di hatiku untuk jangka waktu yang cukup lama. Ataukah Andi yang sedikit-sedikit mulai mencuri hatiku? 
Akhir-akhir ini, pekerjaan membuat aku dan Andi harus bersama untuk beberapa waktu. Aku tak mengenal Andi Septoadi lebih dari sekedar nama. Entah mengapa, dia lebih banyak mengetahui tentangku. Meski terlihat masih malu-malu, tapi sikapnya menunjukkan perhatian yang lebih dari sekedar rekan kerja. Andi yang kutahu adalah sosok yang religius dan aktif dalam kegiatan kemanusiaan. Beberapa kali aku diajaknya untuk ikut dalam kegiatannya dan selalu kutolak. Bukan tak mau berpartisipasi dalam kegiatan kemanusiaan, tetapi aku malu bila harus bertemu dengannya. Aku dan Andi tak pernah saling bicara langsung. Perkenalan pertama kami melalui media sosial. Aku yang saat itu tahu bahwa Andi adalah rekan sekantorku, maka kami saling berkenalan lewat dunia maya dengan maksud agar tak dibilang sombong sekaligus menambah banyak teman di kantor. Maklumlah, saat itu aku adalah karyawan baru di kantor tersebut.  Kami menjadi sangat akrab di media sosial, bahkan sudah seperti teman lama yang dipertemukan kembali.
Kami memang satu kantor, berada di dalam gedung yang sama setiap harinya. Akan tetapi kami berbeda program. Aku seorang pembaca sekaligus penulis berita yang berada di studio 3. Sedangkan Andi merupakan produser sebuah variety show di lantai 5 gedung ini. Pria ini sering kulihat saat makan siang di kantin. Postur tubuh tinggi yang melebihi tinggiku. Hitam manis. Dari wajah dan namanya aku memprediksikan bahwa dia adalah orang Jawa atau mungkin keturunan Jawa. Tak sengaja beberapa kali kami berpapasan, aku tak bisa berkata apapun selain senyum seraya pergi meninggalkannya.
Beberapa saat dia terlihat manis di media sosial. Pria yang mengibaratkan seorang wanita sepertiku adalah mentari pagi baginya yang selalu menghangatkan dan membawa keceriaan baginya. Itu sebuah pertanda bahwa kehadiranku sudah lama di hati Andi. Hal itu terdengar berlebihan jika mengingat usia perkenalan kami yang masih seumur jagung, bisa-bisanya Andi mengumpamakan aku seperti mentari pagi. Aku masih tidak percaya hal itu. Relung hatiku yang masih terbelenggu oleh ketidakpastian Haikal kala itu, membuatku sulit untuk menerima pria lain.

***
(to be continued)